Friday, October 31, 2008

Banjir di Hanoi



Jalan Lang Ha jam 08:05 terasa seperti mau maghrib, gelap




This is what is called “dedication to education”



Hiks..moga ga menimpa teman teman sekalian



Ga di Jakarta ga disini



Rekan Julie berjuang dalam hujan


Pagi ini jejak langkah saya berlangsung dari hotel ke KBRI disertai guyuran hujan yang cukup lebat. Bahkan samapai sore hari ini masih lebat.
Ini adalah hari pertama saya di Hanoi setelah kemarin siang tiba dari Indonesia. Bangga rasanya berjalan menyusuri 4 blok diiringi beberapa tatapan mata aneh melihat gadis berbaju motif batik dan berkerudung di sebuah negara sosialis. Bangga juga menggunakan bahasa Indonesia di negeri orang walaupun sebenarnya hanya itu Bahasa yang paling nyaman saya pakai disini untuk berkomunikasi mengingat orang Hanoi tidak banyak yang bisa berbahasa Inggris. Akhirnya saya memilih ngobrol saja dengan sesama teman Indonesia. Sungguh perasaan-perasaan yang jarang saya rasakan tatkala di rumah sendiri. Bahkan saat di perjalanan bangga juga saat membawakan kerajinan tangan dan batik (bukan kain bermotif batik--> suka diprotes soalnya oleh teman-teman pecinta batik) dan menyerahkannya kepada Bapak Duta Besar. Sengaja tas kertas bermotif batik itu saya tenteng dan ternyata beberapa nona-nona berambut pirang di penerbangan Singapura-Hanoi cukup antusias memandanginya. Bahkan Bapak-bapak sebelah dari USA sempat mengatakan "nice pattern"...senang juga deh jadinya.

"Menjadi Indonesia."
Sebuah proses yang selama ini tak pernah saya nikmati lika-likunya sampai saya masuk pada sebuah instansi dan akhirnya harus menjadi bagian dari perwakilan Indonesia di luar negeri. Luar biasa, karena saya tak pernah menangis saat menyanyikan lagu Bagimu Negeri kecuali saat bulan kemarin mengikuti acara penutupan Sekolah Dinas Luar Negeri sekaligus pelepasan untuk magang. Jarang saya merasa memiliki Indonesia dari sabang sampai merauke sampai saya melihat foto-foto kepulauan di Riau yang gundul, habis, bahkan nyaris hilang tenggelam karena habis pasirnya serta tanah Kalimantan dan Papua yang tergerus oleh MNC-MNC kenamaan. Jarang pula saya sedemikian antusias mencari tahu berbagai musik tradisional, makanan tradisional, serta pernik-pernik kekayaan budaya Indonesia sampai pada saat saya harus menampilkannya dihadapan orang selain Indonesia. Saya sedikit sedih dan kecewa dengan proses belajar saya selama ini. Kemana Indonesia saya yang seharusnya sudah melekat bersama saya sedari 0 tahun?

Ya..ternyata saya belum cukup menjadi Indonesia seutuhnya.
Saat beberapa waktu lalu menonton Denias dan Laskar Pelangi baru saya miris. Betapa anak Indonesia banyak yang kehilangan jati dirinya. Bagaimana bangsa ini bisa eksis kalau tidak kenal siapa dirinya. Begitu jauh mereka mengenal makna sumpah pemuda. Pelajaran sejarah hanyalah pelajaran data dan kurang menyentuh masalah perasaan dan empati. Padahal sebuah kisah diceritakan bukan untuk mengasah aspek kognitif saja melainkan lebih pada sisi rasa manusia. Seni, sastra Indonesia telah kehilangan tajinya. Sempat gemes waktu Effendi Siregar menunjukkan foto-foto hasil jepretannya untuk buku Centhini Story. Tidak ada penerbit dan pejabat yang mendukung langsung penerbitannya sehingga harus dalam bahasa Inggris oleh penerbit berlabel bahasa Inggris. Sebagai orang jawa saya merasa tercabik-cabik. Kok ya sampai nggak pernah baca...jangankan baca kenal saja tidak. Dimana lubang hitamnya hingga saya jauh dari akar budaya saya. Apa ya karena saking cueknya saya? Tapi sejak SD memang tidak ada itu serat centhini masuk dalam pelajaran apapun. Padahal dari cerita pak Siregar sungguh, peta jawa lebih lengkap tergambar disana. pelajaran etika banyak disentuh, politik juga diubeg-ubeg bahkan kamasutra hanyalah sebagian kecil dari isinya.

Akhirnya, daripada makan hati memikirkan mata rantai yang putus saya mencoba menyusun kembali puzzle ke-Indonesiaan saya. Saya awali dari merasa bahwa saya memang orang Indonesia dan menggetarkan hati saya saat membaca KTP atau pasport kalau saya memang bernaung di langit Indonesia serta tumbuh dengan tanah dan airnya Indonesia (secara makan duit rakyat ya hiks..hiks..enakan jadi wirausahawan lagi klo begini..beban hati). Langkah selanjutnya coba saya bangun adalah merasa memiliki Indonesia, karena dengan itu saya berusaha mencintai dan menjaga apa yang saya miliki. Tak lagi gagap saat harus memakai songket atau tenunan, tak merasa katrok saat bawakan lagu daerah dan tidak lagi gerah menonton TVRI hehe..tapi di Hanoi gak ada sayangnya. Yang tak kalah penting adalah bahwa tanah yang saya injak kemaren tanah saya dan harus dijaga pelestariannya. Kenapa para penghuni kolong jembatan dan pinggiran kali rajin mencemari jalanan atau sungai-sungai bisajadi karena mereka tak pernah dikenalkan dengan perasaan "MEMILIKI" cuma numpang tanah milik negara..padahal UUD nya menyebutkan Negara bertanggungjawab mengelola untuk kepentingan rakyat.
Adanya juga kebalik-balik.
Pun, teman teman di asrama kadangkala cuek saja membiarkan tanaman-tanaman kering. Tak lain karena merasa tidak memiliki (ada tukang kebun katanya). Sebagian kurang menyadari bahwa makhluk-makhluk lain ada tersedia bagi manusia sebagai khalifahnya untuk dicintai, dimiliki, saling berbagi sehingga tercipta harmoni eksistensi. “Cintailah yang di bumi maka yang di langit mencintaimu”…seperti itu kira-kira.
Pada akhirnya hubungan manusia dengan makhluk lain sebatas hanya pada interaksi kaku bukan kegiatan saling mencinta yang disana ada energi luar biasa untuk menjalin sebuah sinergi bagi keberlangsungan semesta. Tercipta jarak antara rakyat dan negara, antara si miskin dan si kaya, antara diriku dan dirinya..apalagi mereka (yang tinggal di hutan-hutan cemara).

Terlepas dari semua cerita diatas, ternyata sebuah identitas tetap diperlukan saat dunia semakin tanpa batas. Sebuah tempat yang disebut "hometown" terasa manis terkenang saat jauh. Apabila dulu seringkali hanya bisa melihat sisi gelap bayangan bangsa sendiri..dengan adanya jarak fokus saya mencoba menatap dengan lebih obyektif bahwa negara kita adalah negara normal "plus masalah, plus prestasi, plus manusia-manusia potensial yang hanya butuh diasah kesadaran eksistensialnya" ..jadi terinspirasi kata-kata SBY "Kita Bisa" Apalagi melihat bangsa ini punya berbagai komunitas yang mungkin kecil tapi berserak seperti Jejak Langkah, saya yakin puzzle besar bernama Indonesia akan menjadi indah dipandang apabila makluk-makhluk di dalamnya bersama mengumandangkan "Aku Cinta Indonesia" (*jadi inget acara di TPRI jaman doeloe waktu tipinya masih pake aki).

At last..susah ternyata menjadi bagian dari Negara. Ya..saya bukan hanya sekedar bernegara Indonesia tetapi kebangsaan saya adalah Indonesia. Bahasa saya dan tanah air saya adalah Indonesia..Ia adalah rumah saya yang akan terindukan saat berjauhan.

thanks ya buat temen2 JL yang senantiasa membantu menggugah kesadaran saya akan berbagai penampakan di sekitar kita

Friday, October 24, 2008

Pelatihan Blogger bersama Loenpia dan JL

what a nice day
akhirnya bisa menikmati my last free day bersama Loenpia untuk secara resmi cari ilmu nge-blog.
Yup..yang namanya beramal mustinya emang cari ilmu dulu. Terbukti bila semua hanya mengalir blog ini hampir sekarat karena tak terawat dan tak pernah di update lagi...Well hope this day would be wonderful ...VIVA Blogger

Saturday, October 11, 2008